Let there be a fire!


Education is not the filling of a pail, but the lighting of a fire”, Kata-kata William Butter ini selalu menjadi cambuk penyemangat dalam perjalanan saya sebagai seorang pendidik. Menjalani satu profesi dengan passion yang kuat membuat saya menikmati setiap fase proses dengan atau tanpa hambatan.



Sejak remaja, saya menyadari bahwa  cita-cita saya adalah menjadi seorang guru. Ketika saya duduk di bangku SMA, hampir semua teman saya memilih untuk menjadi polisi, pilot, dokter atau pramugari. Tapi saya tetap pada pendirian saya untuk menjadi seorang guru. “Gaji guru itu kecil, apa kamu yakin itu sanggup untuk membiayai hidup keluargamu kelak? Kenapa tidak mengambil jurusan lain yang lebih menjanjikan saja?”, Pertanyaan-pertanyaan itu sering sekali saya dengar. Tapi, menjadi seorang guru bukanlah sebuah pengorbanan, melainkan sebuah kehormatan. Pendidikan bukanlah urusan sektoral semata, tapi merupakan proses holistik yang mendasar dan guru adalah  kunci utama kualitas pendidikan.
Saya adalah seorang guru bahasa Inggris di salah satu sekolah menengah atas (SMA) di kota medan. Sekolah ini memiliki 300 siswa yang berhasil diseleksi dari seluruh daerah di Sumatera Utara. Mereka adalah siswa/i yang memiliki tingkat inteligensi yang baik namun  hidup dalam kondisi pas-pasan. Mereka memperoleh full-scholarship dari Chairul Tanjung (CT) Corporation selama masa studi SMA mereka.
Di awal Maret, sekolah saya mendapatkan undangan untuk mengikuti “2015 local WORDS competition”, sebuah kompetisi pidato bahasa Inggris dan penampilan bakat untuk siswa/i SMA yang disponsori oleh American-Indonesian Exchange Foundation (AMINEF) Fulbright.  Beberapa siswa binaan saya ikut berpartisipasi dalam ajang tersebut. Saya diamanahkan oleh pihak sekolah untuk menjadi pembimbing mereka. Segala sesuatunya dipersiapkan secara detail dan matang, baik dari kostum, alat musik hingga musik pemandu. Hingga pada akhirnya, siswa saya, Yoga Dwi Setiawan, dinyatakan sebagai juara pertama dan berhak mendapatkan tiket untuk bertarung di level nasional di Jakarta pada bulan April. Saya sangat setuju dengan kata-kata bijak ini, “Hasil tidak akan mengkhianati usaha. Mereka akan berada di garis lurus yang sama.”
Proses persiapan terus dilakukan. Waktu yang tersisa sebelum kompetisi tingkat nasional benar-benar kami manfaatkan dengan maksimal. Yoga dan saya berlatih hampir setiap hari, bahkan terkadang hingga larut malam. Kami tidak pernah mengeluh, kami menikmati setiap proses yang berjalan. Inilah potret nyata ketika passion dan kerja keras mengalir bersama.
27 April 2015, selama proses perlombaan, para peserta dikarantina selama 3 hari. Yoga berbaur dengan 32 peserta se-Indonesia dan 29 pengajar bahasa Inggris dari Amerika. Saya melihat dia belajar untuk berpikir global dan melihat dunia lebih luas. Tidak jarang saya melihatnya sedang bercerita dengan teman-teman barunya tentang daerah  mereka masing-masing.  Kebahagiaan dan kesuksesan  saya sebagai seorang pendidik adalah ketika saya mampu mengantarkan siswa saya berdiri berdampingan dengan peserta dari seluruh provinsi se-Indonesia dan  menyadari bahwa setiap manusia sebaiknya terus belajar karena semestapun tidak pernah berhenti mengajar . Saya juga menyaksikan Yoga Dwi Setiawan menyampaikan pidatonya dengan percaya diri di depan tim juri yang terdiri dari ibu Duta Besar Amerika dan beberapa praktisi pendidikan nasional dan internasional dan saya bangga ketika dia berkata, “Saya belajar banyak hal disini, Sir. Belajar memahami dan menghargai perbedaan dan melihat dunia lebih luas.”
Bagi saya, Kesuksesan terbesar seorang guru adalah ketika dia mampu menggandeng tangan,membuka pikiran, menyentuh hati dan membentuk masa depan siswanya. The great teacher inspires!

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Aku, Kau, dan Dia

Ketika cinta kita bertemu... Happiest Birthday of 25!

One Year Process to Fly High... (Part 1)