Let there be a fire!

Sejak
remaja, saya menyadari bahwa cita-cita
saya adalah menjadi seorang guru. Ketika saya duduk di bangku SMA, hampir semua
teman saya memilih untuk menjadi polisi, pilot, dokter atau pramugari. Tapi
saya tetap pada pendirian saya untuk menjadi seorang guru. “Gaji guru itu
kecil, apa kamu yakin itu sanggup untuk membiayai hidup keluargamu kelak?
Kenapa tidak mengambil jurusan lain yang lebih menjanjikan saja?”, Pertanyaan-pertanyaan
itu sering sekali saya dengar. Tapi, menjadi seorang guru bukanlah sebuah pengorbanan,
melainkan sebuah kehormatan. Pendidikan bukanlah urusan sektoral semata, tapi
merupakan proses holistik yang mendasar dan guru adalah kunci utama kualitas pendidikan.
Saya
adalah seorang guru bahasa Inggris di salah satu sekolah menengah atas (SMA) di
kota medan. Sekolah ini memiliki 300 siswa yang berhasil diseleksi dari seluruh
daerah di Sumatera Utara. Mereka adalah siswa/i yang memiliki tingkat
inteligensi yang baik namun hidup dalam
kondisi pas-pasan. Mereka memperoleh full-scholarship
dari Chairul Tanjung (CT) Corporation selama masa studi SMA mereka.
Di
awal Maret, sekolah saya mendapatkan undangan untuk mengikuti “2015 local WORDS competition”, sebuah
kompetisi pidato bahasa Inggris dan penampilan bakat untuk siswa/i SMA yang
disponsori oleh American-Indonesian
Exchange Foundation (AMINEF) Fulbright.
Beberapa siswa binaan saya ikut berpartisipasi dalam ajang tersebut.
Saya diamanahkan oleh pihak sekolah untuk menjadi pembimbing mereka. Segala
sesuatunya dipersiapkan secara detail dan matang, baik dari kostum, alat musik
hingga musik pemandu. Hingga pada akhirnya, siswa saya, Yoga Dwi Setiawan, dinyatakan
sebagai juara pertama dan berhak mendapatkan tiket untuk bertarung di level
nasional di Jakarta pada bulan April. Saya sangat setuju dengan kata-kata bijak
ini, “Hasil tidak akan mengkhianati usaha. Mereka akan berada di garis lurus
yang sama.”
Proses
persiapan terus dilakukan. Waktu yang tersisa sebelum kompetisi tingkat
nasional benar-benar kami manfaatkan
dengan maksimal. Yoga dan saya berlatih hampir setiap hari, bahkan terkadang
hingga larut malam. Kami tidak pernah mengeluh, kami menikmati setiap proses
yang berjalan. Inilah potret nyata ketika passion
dan kerja keras mengalir bersama.
27
April 2015, selama proses perlombaan, para peserta dikarantina selama 3 hari.
Yoga berbaur dengan 32 peserta se-Indonesia dan 29 pengajar bahasa Inggris dari
Amerika. Saya melihat dia belajar untuk berpikir global dan melihat dunia lebih
luas. Tidak jarang saya melihatnya sedang bercerita dengan teman-teman barunya
tentang daerah mereka
masing-masing. Kebahagiaan dan
kesuksesan saya sebagai seorang pendidik
adalah ketika saya mampu mengantarkan siswa saya berdiri berdampingan dengan
peserta dari seluruh provinsi se-Indonesia dan
menyadari bahwa setiap manusia sebaiknya terus belajar karena semestapun
tidak pernah berhenti mengajar . Saya juga menyaksikan Yoga Dwi Setiawan
menyampaikan pidatonya dengan percaya diri di depan tim juri yang terdiri dari
ibu Duta Besar Amerika dan beberapa praktisi pendidikan nasional dan
internasional dan saya bangga ketika dia berkata, “Saya belajar banyak hal disini,
Sir. Belajar memahami dan menghargai
perbedaan dan melihat dunia lebih luas.”
Bagi
saya, Kesuksesan terbesar seorang guru adalah ketika dia mampu menggandeng
tangan,membuka pikiran, menyentuh hati dan membentuk masa depan siswanya. The
great teacher inspires!
Comments
Post a Comment